Notification

×

Mengatasi Ketidakmampuan Belajar

Senin, 22 Juni 2020 | 09.01.00 WIB Last Updated 2020-06-22T16:01:46Z
Suatu bentuk sikap bertanggung jawab terhadap diri sendiri biasanya ditandai dengan kesadaran untuk mau berjuang (belajar) mengatasi ketidakmampuan. Ketidakmampuan belajar ini, menurut Peter Senge (dalam buku Anderas Harefa), disebabkan oleh identifikasi diri bahwa “saya adalah posisi saya”. Identifikasi semacam ini membuat orang membentengi diri dari tanggung jawab yang lebih luas, saya hanya bertanggung jawab bila itu menyangkut diri saya, kepentingan kelompok saya, bagian yang saya bawahi, dan tidak bertanggung jawab dalam konteks hubungan keseluruhannya.
 
Tugas dan panggilan untuk menerima tanggung jawab demi menjadi diri sendiri pada esensinya sangatlah sederhana. Yang dibutuhkan hanyalah tiga hal penting. Pertama adalah pengetahuan atau pengenalan diri; Kedua yakni kemauan kuat untuk hanya menjadi diri sendiri; dan ketiga adalah ketekunan atau persistensi. Tidak diperlukan “modal” lain dari luar diri.

Seorang anak manusia dilahirkan sebagai pembelajar, yang belajar menjadi diri sendiri, dengan sendirinya harus menumbuh kembangkan keberanian untuk menyatakan perbedaan, dan bukan berusaha menyamakan diri atau meniru orang lain. Ia belajar menjadi pemberani dalam arti menerima perbedaan sebagai suatu kenyataan yang wajar dan manusiawi, serta pantas disyukuri dan bukan disesali, apalagi ditiadakan. Perlu belajar untuk berani mengatasi kecendrungan diri untuk bersikap reaktif dengan melempar tanggung jawab dan suka mencari kambing hitam. Perlu belajar berani menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menunaikan setiap tugas yang dipercayakan kepadanya, perlu belajar untuk berani mengakui kesalahan. Kepada siapa dan mengapa seorang pembelajar harus bertanggung jawab?

Pertama, manusia pembelajar merasa bertanggung jawab kepada Tuhan, yang sudah menganugrahi dengan roh, jiwa, dan tubuh, yang membekalinya dengan nurani (moralitas), akal budi (rasionalitas), dan kemauan atau hasrat (untuk beraktivitas). Anugerah-anugerah itulah yang memungkinkan seorang anak manusia mencipta, berkarya, berharta, menjadi garam, pelita, dan terang bagi dunia.
Kedua, ia juga bertanggung jawab kepada diri sendiri. Ia harus belajar menggunakan rasionalitas (akal budi) dengan dipandu oleh moralitas (nurani) dalam melaksanakan setiap aktivitas (kemauan) ia belajar digerakkan atau dimotivasi “dari dalam” dan menolak untuk didikte “dari luar”. Ia belajar untuk dituntun oleh nilai-nilai estetis (indah-buruk) yang diyakininya dan bukan oleh iming-iming eksternal yang melecehkan kemanusiaannya. 

Ketiga, manusia pembelajar bertanggung jawab kepada sesama manusia, kepada masyarakat sekitarnya. Ini berkaitan dengan eksistensinya manusia sebagai makhluk sosial. Ia perlu belajar menegenali dan menghayati nilai-nilai keserasian hubungan antarpribadi. Ia perlu belajar menjadi makhluk yang berkepedulian social dan bukan sekedar memuja hasrat dan kemauan sendiri/kelompok. Ia perlu belajar bagaimana hidup bersama-sama dengan damai dalam suatu komunitas.

Akhir kata saya mengutip kata yang disusun oleh Calvin Coolidge (presiden Amerika ke 30) dalam buku Anderas Harefa bertuliskan sebagai berikut:
“Tak ada sesuatu di dunia ini yang dapat menggantikan ketekunan, bahkan bakat pun tidak; tak ada yang lebih biasa dari kenyataan banyaknya orang yang tak berhasil sekalipun memiliki bakat besar. Bukan orang jenius, karena orang jenius seringkali kurang dihargai dan seperti pepatah “dunia dipenuhi oleh kaum “terpelajar” yang terlantar”.
Ketekunan, determinasi adalah semuanya.


Kristianus Yopi P., S.E.
Guru SMP Kristen Makedonia
×
Berita Terbaru Update