Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali, tanpa membeda-bedakan, menyeluruh dari kota hingga ke pelosok desa sekalipun. Cita-cita ini hanya bisa terwujud dengan diberikannya pendidikan yang layak kepada seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan yang bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan yang berguna untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi sebagian besar rakyat Indonesia, pendidikan bukanlah sesuatu yang asing lagi. Mereka bahkan berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan yang layak, yang bermutu, dan berguna untuk kehidupan mereka. Program pemerintah yang mulanya adalah wajib belajar 9 tahun tidak lagi cukup, maka diberikan program baru yaitu wajib belajar 12 tahun. Program itupun tidak cukup, perlu pendidikan yang lebih tinggi lagi yaitu Perguruan Tinggi sehingga mereka bisa mendapatkan gelar diploma atau juga sarjana (strata satu). Akan tetapi ternyata itupun masih belum cukup, masih diperlukan pendidikan yang lebih tinggi lagi, sehingga memperoleh gelar S2 sampai S3, kemudian disebut doktor hingga profesor.
Bagi sebagian rakyat Indonesia yang lain, pendidikan masih merupakan sesuatu yang asing. Masih ada beberapa orang yang menganggap pendidikan itu tidak penting. Hal ini ditinjau dari mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun ternyata mempunyai pekerjaan yang sama saja dengan mereka yang tidak sekolah. Bahkan kehidupan mereka tidak lebih baik dari mereka yang mungkin hanya tamat SD jika dilihat dari segi ekonomi. Sehingga pepatah lama pun tetap berkumandang “Sekolah semangkuk tidak sekolah juga tetap semangkuk”.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Lalu bagaimana dengan cita-cita bangsa Indonesia?
Pendidikan bukanlah hanya sekedar bangunan sekolah yang diisi dengan fasilitas, guru, dan murid. Pendidikan haruslah memuat sesuatu yang berguna, yang berkualitas, yang bisa dijadikan “modal” bagi setiap mereka yang mengenyam pendidikan tersebut. “Modal” tersebut nantinya akan digunakan dalam kehidupan mereka selanjutnya dalam bermasyarakat. “Modal” itu harus memuat pendidikan berkualitas secara holistik, yaitu dari sisi ilmu sebagai pengetahuan dan keterampilan, karakter, dan iman.
Ilmu yang diberikan seharusnya bukan sekedar ilmu yang hanya berisi huruf dan angka atau rumus yang harus dihafalkan hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus. Ilmu yang hanya diberikan dari ceramah-ceramah atau mencatat buku hingga selesai. Kemudian diujikan dan diberi nilai. Ilmu yang berguna seharusnya berisi tentang pengetahuan dan keterampilan.
Perkembangan IPTEK memudahkan kita untuk mendapatkan pengetahuan mengenai apa saja, dimana saja, dan kapan saja. Dengan demikian seharusnya kita tidak perlu datang ke sekolah. Benarkah demikian? Tentu tidak. Melalui sekolah, guru akan memberikan pengetahuan tersebut melalui tahapan-tahapan berikut yaitu mengingat , memahami, mengaplikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan mencipta. Tahapan-tahapan inilah yang membedakan mereka yang menempuh pendidikan dan yang tidak. Tahapan ini diberikan kepada siswa-siswi, hal ini yang akan menjadi “modal” dalam mereka menerapkan pengetahuan yang mereka punya nantinya.
Dewasa ini dunia pendidikan diharuskan memberikan pendidikan karakter dalam kurikulum mereka. Apakah pendidikan karakter itu bersifat teori? Sama seperti ilmu atau pengetahuan yang lain? Teori saja tidak cukup, sekolah seharusnya memfasilitasi siswa-siswi untuk bisa meningkatkan karakter mereka ke arah yang lebih baik. Sebagai pendidik kita juga harus memberikan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari kita. Pendidik itu hampir mirip dengan selebriti, setiap tindak tanduknya disoroti dan diharapkan bisa memberikan contoh yang baik.
Seseuai visinya “Meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dari wilayah pedesaan melalui pendidikan Kristiani dan Kesehatan yang seutuhnya” Sekolah Kristen Makedonia yang di dirikan di Ngabang berusaha mewujudkannya dengan memberikan pendidikan yang baik dari segi ilmu dan karakter melalui guru-guru yang mempunyai pendidikan yang cukup tinggi serta kerohanian yang baik.
Lalu pengetahuan dan karakter yang baik itu akan dibawa kemana? Dunia ini begitu jahat dan kejam. Untuk apa berbuat baik. Apa gunanya semua itu? Kitab pengkhotbah mengatakan semua itu hanya sia-sia, semua yang terjadi di bawah kolong langit ini akan menjadi sia-sia. Jadi lebih baik kita bersantai-santai saja, untuk apa berjerih lelah mendapatkan pendidikan yang baik?
Akhir dari kehidupan kita sebagai orang yang percaya kepada Kristus Sang Juruselamat bukanlah kesia-siaan. Pada akhirnya setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini akan dibawa ke pengadilan Allah. Sebagai orang percaya setiap perbuatan yang kita lakukan di dunia ini seharusnya adalah wujud ucapan syukur kita kepada Kristus yang telah menyelamatkan kita dari kebinasaan. Pengetahuan dan karakter semua harus berpusat kepada Dia, Sang Sumber Hikmat. Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.