Notification

×

Kebebasan, Sebuah Paradoks

Selasa, 23 Juni 2020 | 21.23.00 WIB Last Updated 2020-06-24T04:23:35Z
APA sih kebebasan itu? Tampaknya mudah menjawab pertanyaan yang satu ini. Secara “telanjang”, kebebasan dapat dikatakan dengan: “ketika aku bebas melakukan apa saja yang kuinginkan, tidak terikat pada sebuah aturan apa pun”. Jika memang inilah wujud kebebasan, betapa mengerikannya dunia ini. Sebab dengan kebebasannya itu, manusia berubah nilai: dari yang manusiawi menjadi sangat binatang! Betapa tidak? Kehidupan yang bebas sebebas-bebasnya, tanpa aturan atau keterikatan, hanya ada pada binatang. Itu sebabnya dalam hukum rimba, yang kuatlah yang menang. Yang kuatlah hukum. Dialah kebebasan.
            Tapi, ternyata binatang pun tidak dapat hidup bebas sebebas-bebasnya. Jika ia seekor singa, ia tidak boleh berada di kota, jika tidak ingin ditembus timah panas. Meski singa dikenal sebagai hewan perkasa, di lautan luas ia tidak akan bisa bebas seperti ikan. Maka, singa jangan coba-coba ke laut jika tidak ingin ditelan ombak. Jadi, singa yang kuat itu ternyata tidak kuat di semua medan. Dia tidak dapat bebas sebebas-bebasnya, sebab dia sangat terikat pada keterbatasan yang menempel ketat pada dirinya. Keterikatan seumur hidupnya. Singa hanya bebas jika maut menjemputnya. Namun, saat itu pun singa menghadapi episode yang tak dikuasainya. Kematian bukanlah hutan, di mana singa berkuasa. Kematian juga bukan kota, tempat singa terancam. Ah, ternyata binatang pun tidak bisa bebas sebebas-bebasnya.
            Lalu, bagaimana dengan manusia? Paul Riceour, seorang filsuf Prancis pernah berkata, bahwa kebebasan sejati adalah sebuah keputusan yang pribadi dan berdikari, didasari oleh pemahaman yang pribadi dan berdikari. Semua itu harus melewati jalan yang disebut omnibus bene perpenis (setelah mempertimbangkan semua dengan matang). Semakin banyak filsuf pasti semakin banyak definisi yang kita dapat. Sayang, ruang ini terlalu sempit untuk menghadirkan lebih banyak pendapat, sekalipun sebenarnya hal itu bisa lebih memperkaya wawasan kita.
            Kembali kepada Riceor yang juga berpendapat bahwa dalam membuat sebuah keputusan diperlukan perhatian. Contoh dalam memilih sebuah pekerjaan baru. Secara financial menguntungkan, namun secara kesehatan membahayakan. Maka setelah melewati sebuah pertimbangan, didapatlah keputusan. Nah, keputusan itulah yang dianggap sebagai yang pribadi dan berdikari. Jika dicermati, maka apa yang dikatakan Riceor sebagai sebuah keputusan pribadi dan berdikari, adalah sebuah kemampuan intelektual. Jadi keputusan pribadi dan berdikari itu lebih berkaitan dengan kemampuan intelektual dibandingkan kebebasan. Bukankah intelektual itu sendiri sebuah “kandang emas” dibanding benih kebebasan? Intelektual yang selalu terikat pada pendapat umum, sementara kebebasan seharusnya terikat pada diri seseorang, entah dia itu berintelek tinggi atau tidak. Apakah orang yang rendah inteleknya tidak bebas? Semakin dalam digali, maka kita akan tiba pada circulus vitiosus (lingkaran setan) yang tidak kunjung usai. Semakin kebebasan itu diusahakan bebas justru kebebasan itu semakin tampak terikat. Kebebabasan, hanyalah sebuah kebebasan yang situasional. Usai kerja, kita bebas dari waktu kantor. Di ruang ber-AC kita bebas dari asap rokok, dan seterusnya. Singkatnya, kita terikat pada situasi dan peraturan yang ada.
            Kebebasan sejati adalah sebuah paradoks yang absolut. Kebebasan sejati ada dalam keterikatan/keterbatasan (Kejadian 2:16-17). Di Taman Eden, Adam sangat bebas, namun dia bebas selama dia taat pada keterbatasan yang ada. Di sana ada ketentuan hukum yang harus ditaatinya dan yang mengikatnya. Di keterikatan itu Adam bebas, dia hidup sebagai manusia merdeka. Dia bagaikan ikan di laut lepas yang bebas menyelam di laut, namun sang ikan akan kehilangan kebebasannya apabila dia salah memakai kebebasan yang ada dengan memaksakan kehendak bebasnya dan melompat ke darat. Saat ikan membuat keputusan dalam kebebasannya untuk melintasi keterbatasannya maka berakhirlah kebebasan yang dimilikinya.
            Begitu pula dengan Adam. Kebebasan bukanlah kemampuan intelektual dalam membuat keputusan, karena intelektual itu sendiri harus tunduk pada hukum yang ada tentang kebebasan. Kebebasan sejati adalah ketika intelektual dipakai untuk mengerti dan menaati keterikatan dalam mempertahankan kebebasan, dan bukan membuat keputusan untuk mencipta kebebebasan. Kebebasan itu sudah ada pada diri manusia sebagai ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah. Namun kini, persoalan kebebasan tidak sesederhana itu lagi, karena manusia telah jatuh ke dalam dosa. Perjuangan untuk hidup dalam kebebasan sejati semakin berat dan mengalami kontaminasi hebat dari polusi dunia yang berdosa. Itu sebab, realita ini menjadi tuntutan besar bagi setiap orang percaya untuk merumuskannya dengan jelas apa itu kebebasan sejati dan tidak terjebak pada tataran teori belaka.
            Paulus sebagai rasul Tuhan, menggambarkan hal itu dalam ungkapannya yang sangat filosofis, dalam Roma 7:15: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang kukehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat”. Tampaknya Paulus terpenjara, tak berdaya menggapai kebebasan dalam membuat sebuah keputusan yang diinginkannya. Dia dikekang dan dipaksa membuat keputusan yang dibencinya. Gambaran jujur yang tajam tentang situasi hidup orang berdosa. Namun segera kita akan mendengar gema kemenangan, kemerdekaan, kebebasan yang sejati, dalam Roma 8:1-17: “Orang percaya tidak lagi diperbudak dosa, melainkan hidup merdeka dalam kasih karunia Kristus”. Yesus berkata: “Pikullah kuk yang kupasang karena enak dan beban yang kuberi karena ringan (Matius 11: 29-30). Di manakah ada kuk (baca: perintah) dan beban itu enak? Di manakah terikat itu merdeka? Hanya satu, yakni di dalam Yesus Kristus.
×
Berita Terbaru Update