Bila dirunut sejak penciptaan manusia. Allah berkehendak untuk menjadikan manusia secara fisik ada dan menjadi berkat. Karena dosa, mereka membuat tindakan yang menurut mereka tidak akan kelihatan. Mereka sengaja bersembunyi, tak menampakkan diri karena didera rasa malu akan dosa. Manusia yang dulu begitu terbuka berkomunikasi dengan Allah, menjadi renggang dan seolah-olah mereka tak ingin Allah mengetahuinya. Mereka lupa Allah maha tahu, maha hadir. Tak satupun yang tak terlihat.
Menjadi tak terlihat sekilas memiliki sejumlah kesan negatif. Contoh sungai atau laut yang dipermukaan begitu tenang dan damai tidak mewakili keadaan di dalam air itu. Atau gunung es yang nampak kecil dipermukaan, namun dibawah permukaan terdapat es raksasa yang sanggup menghancurkan Titanic sekalipun. Di masa kini kita masih mengenal Santet atau lebih modern Proxy War (perang tidak langsung tanpa senjata, termasuk didalamnya Cyber War, adu domba, perantara/ pihak ketiga). Perang modern yang semakin membuat kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Invisible menimbulkan potensi ketidakpercayaan dan kecurigaan.
Tapi mari kita tidak menghakimi kata Invisible tersebut, karena itu sebatas kata dan definisi lahiriah, semua itu kembali kepada diri kita dalam menerapkan di bidang masing-masing. Mari kita jadikan Invisible menjadi hal yang lebih positif, berdampingan dengan visible.
Beberapa orang dikaruniai untuk menjadi visible, terang yang nampak, dan memang harus kelihatan seperti pemimpin. Sebagian yang lain dikaruniai untuk menjadi invisible, semacam Man Behind The Scene, tidak muncul di pentas utama namun tanpanya pentas itu tidak akan terlaksana dengan baik.
Keduanya sama-sama menjadi berkat namun dengan cara yang berbeda.
Contoh penerapan invisible adalah profesi Sutradara/ Dalang/ Tim Kreatif. Begitupun dengan profesi Sherpa yang bertugas menjadi tim Advance/ pendukung para pendaki Inti di Gunung Everest. Mereka jarang terekspos namun peran mereka sangat penting dalam pendakian yang sukses.
Bagaimana dengan GURU. Guru bisa melakoni dua peran sekaligus. Ada kalanya kita harus kelihatan, di depan menjadi sokoguru, teladan, pemimpin bagi peserta didik. Di saat yang lain kita memposisikan diri kita sebagai motivator, pendukung, pendorong dari belakang. Tak nampak, namun memberi berkat yang sama.
Matius 5:13-16 seharusnya menjadi ayat yang menjadi inspirasi kita sebagai guru dalam memahami arti invisible dan visible.
Menjadi Garam berarti kita tak nampak secara fisik, melebur dan menggarami komunitas pendidikan. Bila garam masih nampak maka itu bukan garam namanya. Karena bila nampak berarti kita masih belum berdampak, belum bekerja atau berfungsi. Garam harus “hilang” supaya makanan itu beraroma dan berasa. Rasa minder, rendah diri karena tak eksis menjadi ranjau hidup dari fungsi Garam yang mungkin akan melemahkan tindakan kita. Gantinya, mari terus gali potensi diri, bersiap untuk segala tantangan yang akan datang dan kita akan menyambutnya dengan “garam” kita.
Menjadi terang berarti ada, terlihat dan tentunya terang ini terang benderang, jangan redup. Bila kondisi sekitar masih remang-remang berarti terang kita patut dipertanyakan. Jangan lupa untuk menahan diri supaya tidak mengakui diri. Kesombongan menjadi sisi tajam lain dari MENJADI TERANG yang bisa menjatuhkan kita. Biarlah sekitar kita yang mengakuinya, bukan kita.
Jadi, yang mana bagian peran anda?
Saya harap kita melakoni keduanya, karena kita seorang GURU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar