Notification

×

Guru Yang Hebat

Selasa, 23 Juni 2020 | 02.18.00 WIB Last Updated 2020-06-23T09:20:49Z

Guru, digugu dan ditiru, yang dalam makna aslinya dalam bahasa Sansekerta berarti “pengusir kegelapan”. Guru berasal dari kata gu berarti ‘kegelapan’ ru berarti ‘menghilangkan’

Menjadi guru yang baik adalah cita-cita setiap guru, tapi untuk melaksanakan itu semua tidak mudah, apalagi kita berada di zaman now, di generasi yang selalu mudah untuk mendapat update informasi, di generasi yang mayoritas anak muda mengalami kecanduan internet, media sosial dan situs-situs pencari yang mempermudah mengakses ilmu pengetahuan, sehingga peran guru pun akhirnya menjadi semakin berkurang sebagai pusat mencari informasi.

Selain itu jangan-jangan kita menjadi guru karena terjerumus dalam motivasi mencari uang, atau mungkin karena terpaksa tidak ada pekerjaan lain dan bukan karena panggilan. Kalau kita amati sekarang ini banyak orang berlomba-lomba menjadi guru, bukan karena panggilan tetapi karena menginginkan gaji dan tunjangan sertifikasi, karena tidak mau hidup susah.

Menurut Jansen Sinamo, dalam bukunya “8 etos keguruan”,  panggilan seseorang dapat dibedakan menjadi dua.

Pertama, panggilan Umum, yaitu darma semua orang yang tanpa kecuali wajib melakukan kebaikan, membela kebenaran, dan menegakkan keadilan dalam segala perkara.

Kedua, panggilan khusus, yaitu seseorang yang tepanggil secara partikular melakukan tugas tertentu. Contohnya guru, tidak semua orang terpanggil menjadi guru. Inilah darma yang tak lain adalah profesi, dan kita menjalankan profesi itu dengan bermodalkan talenta, bakat, minat, dan pendidikan yang kita dapatkan.

Kita percaya bahwa setiap orang terlahir ke dunia ini dengan panggilan yang spesifik. Jika mengingkari panggilan , orang niscaya akan gagal. Bukan karena dihambat, tetapi mustahil orang mencapai sukses pada bidang yang bukan panggilannya. Dan sebaliknya orang akan berhasil ketika menemukan dan melaksanakan panggilan jiwanya. Alasannya orang yang terpanggil pasti Tuhan sudah lengkapi dengan potensi dan kemampuan untuk menjalankan panggilan itu.

Orang yang terpanggil menjadi guru, sejak semula sudah dianugerahi bakat mengajar, rasa cinta pada pengetahuan, dan rasa sanyang pada siswa, khususnya rasa bahagia melihat perkembangan dan pertumbuhan anak didik.

Lalu yang menjadi pertanyaan, kalau itu panggilan, menjadi guru yang bagaimanakah kita ini?

Menurut J. Sumardianta, dalam bukunya “Guru Gokil Murid Unyu”, guru dibagi menjadi beberapa tingkat.

  • Guru Medioker, guru ini berkarakter instruksional, kerjanya hanya menyuapi murid (spoonfeeding), murid didik menjadi pasif dan bermental pecundang.
  • Guru Superior, guru ini sepanjang hari, dari tahun ke tahun, kerjanya memperagakan otoritas dan kewibawaan. Pusat kegiatan mengajar-belajar berpusat pada guru, bukan siswa. Guru tipe ini selalu minta perhatian murid, bukannya memperhatikan murid. Murid dididik menjadi penakut dan pengecut.
  • Guru terpuji, guru ini mampu mengajarkan materi rumit dengan cara sederhana, guru yang membuat murid mengerti apa yang diajarkan, administrasi pengajarannya juga bagus. Pusat kegiatan belajar mengajarnya masih berpusat pada gurunya sendiri. Walaupun Guru ini masih terperangkap materialisme kurikulum, tetapi dapat mendidik murid menjadi orang pintar.
  • Guru Yang Hebat, guru ini menginspirasi murid, ia sadar sepenuhnya mempunyai satu mulut dan dua telinga. Itu sebabnya guru tipe ini menjadi pendengar yang baik dan tidak obral bualan di depan kelas. Guru ini sedikit memberi instruksi di depan kelas. Pusat kegiatan belajarnya adalah murid  bukan guru. Kurikulum diolah dan disajikan sesuai kebutuhan murid. Guru hebat mendidik murid menjadi bermental driver (pengendali) dan winner (Pemenang).

Dalam kennyataannya saat ini masih banyak guru Medioker, Guru Superior, dan Guru Terpuji. Hanya sedikit yang menjadi Guru Yang Hebat.

Lalu apa masalahnya?

Sebenarnya masalah utama guru bukannya  sekedar kurikulum dan straategi pengajaraan, melainkan semangat. Karena nantinya pun murid tidak akan mengingat materi pembelajaarannya, tetapi merekam inspirasi yang tersirat dari sang guru.

Masalah utama guru juga bukan lagi soal kesejahteraan, melainkan semangat dan keteladanan. Karena kenyataannya banyak guru yang sudah mendapat sertifikasi pendidik dan memperoleh tunjangan, tapi perubahan yang dialami sebatas bergeser dari guru yang kerjanya ngomong di depan kelas menjadi guru yang kerjanya mendemonstrasikan kewibawaannya di hadapan murid. Selain itu tunjangan sertifikasi gurupun belum tentu mengubah guru menjadi good teacher (guru yang terpuji) apalagi great teacher (Guru yang Hebat).

Memang benar dalam kenyatannnya belum banyak guru inspiratif yang kerjanya bukan sekedar mengajar melainkan benar-benar mendidik, karena hanya guru yang hebatlah yang paham bahwa pekerjaan utamanya itu menginspirasi murid.

Untuk itu marilah para guru berlomba-lomba untuk menjadi Guru Yang Hebat, menjadi guru yang berprilaku terpuji bukanlah guru yang kerap seenaknya sendiri, menjadi guru yang dihargai karena menghargai muridnya, menjadi guru yang bahagia karena berhasil mengantarkan kebahagiaan bagi para muridnya. Menjadi guru yg memiliki tujuan hidup bukan sekedar menumpang hidup atau mencari nafkah apalagi mencari kenyamanan, bukan juga menjadi guru bermental penumpang (passenger), atau guru pecundang (looser) apalagi guru tukang bual (bad speaker).

Marilah kita menjadi guru yang hebat, yang kerjanya bukan hanya ngomong di depan kelas atau kerjanya mendemonstrasikan kewibawaannya di depan kelas atau kerjanya hanya menyelesaikan perkara-perkara rumit menjadi simpel, tetapi menjadi guru yang hebat menginspirasi murid, menjadi manusia bermental driver dan winner.

Selamat berjuang “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Tuhan menyertaimu. Amin.


Imanuel Wungkar

Kepala Bagian Penunjang Pendidikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update