Sebuah kutipan kesaksian yang dialami oleh Ibu Yully Wince Papilaya, Kepala Sekolah Sekolah Dasar Kristen (SDK) Makedonia: “Suatu waktu, saya berkunjung ke sebuah sekolah dasar di sebuah kampung. Saat memasuki gerbang sekolah yang sederhana, saya melihat anak-anak bermain di halaman sekolah itu. Mereka mendatangi saya yang sedang mengendarai sepeda motor dan mengucapkan selamat pagi sembari menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Sungguh suatu pemandangan yang sangat berkesan. Seketika terbersit pertanyaan, bagaimana mereka, anak-anak kampung di sekolah yang bukan unggulan, bisa begitu ramah dan sopan menyambut seseorang yang belum mereka kenal. Jawabannya saya temukan tidak lama kemudian saat guru-guru sekolah dasar tersebut juga menyambut saya dengan sangat hangat. Pada suatu kesempatan yang lain, saya mengunjungi sebuah taman kanak-kanak unggulan di sebuah kota besar. Anak-anak berusia 3-5 tahun bisa belajar dengan tertib di dalam kelas, mendengarkan dan mengikuti instruksi guru-guru mereka dengan baik, berjalan dengan rapi melewati tangga dan koridor tanpa kegaduhan, mengantri saat mencuci tangan, bahkan belajar melayani temannya dengan memegang kain lap dan menunggu sampai semua teman-temannya selesai mengeringkan tangannya menggunakan kain tersebut. “Satu sampai dua bulan pertama anak-anak masuk sekolah adalah masa-masa yang berat bagi para guru untuk membiasakan mereka tertib dan disiplin”, begitu penjelasan dari kepala sekolah taman kanak-kanak tersebut.”
Kesaksian tersebut di atas dapat menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa pada masa sekarang ini, kita merasa terganggu dengan penurunan moral yang direfleksikan dengan berbagai cara dalam sikap dan perilaku anak-anak kita. Kita merasa terganggu dengan bahasa yang buruk yang keluar dari mulut anak-anak. Kita merasa terganggu dengan ketidakpedulian anak-anak terhadap lingkungan sekitarnya. Kita merasa terganggu dengan gangguan keluarga dan peningkatan jumlah orang tua yang tampaknya membiarkan anak-anak mereka melakukan dan menonton apa yang mereka sukai. “Anak-anak sekarang ini lebih sinis daripada generasi sebelumnya tentang kurangnya kejujuran yang mereka lihat dalam dunia orang dewasa”, tutur seorang guru. Penurunan moral ini bisa terjadi di mana saja, di kota besar maupun di desa.
Anak-anak adalah 25 (dua puluh lima) persen dari populasi masyarakat, namun 100 (seratus) persen masa depan. Apabila kita ingin memperbarui masyarakat, kita harus membesarkan anak-anak yang memiliki kultur moral kuat. Dan apabila kita ingin melakukannya, kita memiliki dua buah tanggung jawab: pertama adalah memodelkan karakter yang baik dalam kehidupan kita sendiri dan kedua dengan memajukan pengembangan karakter dalam diri anak-anak kita. (Thomas Lickona, Character Matters).
Fakta yang terlihat di dua sekolah dengan tingkatan dan latar belakang yang berbeda di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan karakter dapat berhasil jika dilakukan dari awal dengan menekankan pembiasaan dan pemodelan. Perlu kerjasama dan kerja keras semua pihak di rumah (suami dan istri) maupun di sekolah (guru dan karyawan) untuk membiasakaan anak-anak berlaku tertib dan sopan. Anak-anak adalah peniru yang ulung, tanpa kita sadari mereka mengamati sikap dan perilaku orang-orang dewasa di sekitarnya dan tanpa sadar mereka menirunya. Karena itu, cara yang paling ampuh untuk menanamkan karakter yang baik pada anak-anak adalah dengan menjadikan karakter-karakter yang baik itu sebagai bagian dari diri kita, para guru dan orang dewasa.
Seorang guru sejarah di sekolah lanjutan dan penulis buku Life’s Greatest Lesson, Hal Urban, membagikan observasi langsungnya:
Saya telah mendapatkan kesempatan yang baik untuk mengunjungi sekolah-sekolah yang memiliki program pendidikan karakter pada tempatnya. Kata pertama yang muncul dalam pikiran saya ketika saya mengunjungi sekolah-sekolah tersebut adalah “bersih”. Saya melihat kampus-kampus dan bangunan-bangunan yang bersih, mendengar bahasa yang bersih, dan melihat anak-anak berpakaian dengan rapi dan bersih. Saya juga melihat sopan santun yang dipraktikkan oleh setiap orang – para siswa, guru, administrator, penjaga sekolah, dan pekerja kafetaria. Yang paling penting, saya melihat pengajaran dan pembelajaran berlangsung dalam atmosfer yang peduli, positif, dan produktif.
Kita tidak mungkin mengembangkan suatu masyarakat atau bangsa yang berbudi luhur jika kita tidak mengembangkan sikap budi luhur tersebut di dalam hati, pikiran, dan jiwa individual umat manusia. Keluarga, sekolah dan komunitas dapat dan harus melakukan bagiannya di dalam menciptakan budaya karakter dengan membesarkan anak-anak yang berkarakter. Masa depan bangsa ini bergantung pada bagaimana keseriusan kita semua untuk berkomitmen terhadap panggilan ini. TUHAN MEMAMPUKAN.
Yully Wince Papilaya, S. Si.
Kepala SDK Makedonia