Tak terasa, kini kita tiba lagi pada Natal dengan tahun yang berbeda. Entah sudah berapa kali, anda dan saya bernatalan dengan berbagai acara dan kenangan. Namun yang pasti Desember selalu menjadi bulan yang special. kemudahan-kemudahan yang ada ternyata mencipta kesulitan yang luar biasa. Betapa tidak, disaat begitu mudahnya kita merealisasikan Natal sekarang ini, semakin sulit kita membayangkan Natal yang pertama.
Natal yang dulu penuh kesederhanaan, yang amat sangat kontras dengan gemerlapnya Natal produk masa kini. Lagu malam kudus memang tetap sama, baik nada maupun kata-katanya, dan kesyahduan yang dilahirkannya. Tetapi ada yang sangat berbeda. Di Natal yang pertama, Maria dan Yusuf, tak sibuk mempersiapkan asesoris yang memang mereka tak punya. Tak juga bingung mengatur jadwal perjalanan liburan, khususnya anggarannya, karena mereka juga tak punya. Juga tak bingung dengan penganan Natal, atau apapun yang menyibukkan kita ketika Natal. Namun, Maria yang hamil tua bukan karena benih manusia melainkan Roh Kudus, dan Yusuf suaminya yang setia, harus melakukan perjalan panjang. Bukan liburan, bahkan bukan pula karena keinginan mereka, melainkan tuntutan politik kaisar Augustus yang membuat mereka harus kembali kekampung halamannya, yaitu Betlehem.
Perjalanan berat bagi seorang Maria yang hamil tua, khususnya jalan berbukit yang tak pernah bersahabat. Natal itu tampaknya sangat berat, tapi herannya mereka tetap taat untuk tetap terlibat. Kekuatan mereka tampak nyata, bukan karena tenaga tapi sukacita yang diliputi misteri. Yah, misteri akan seperti apa Bayi Kudus natal itu. Tiba di Betlehem, sekalipun tak tersedia kamar, apalagi sambutan khusus bagi Maria ibu kudus, dia tak berkeluh kesah. Begitu pula Yusuf, tak kecewa, bahkan sebaliknya mereka mampu sehati menikmati tempat sisa yang ada. Tempat sisa, karena tak ada yang rela tinggal disitu, tempat barang bekas, termasuk palungan bekas yang tak lagi dibutuhkan binatang domba. Maria dan Yusuf memakai barang bekas yang ada, sekalipun itu bekas binatang yang tak pas buat manusia, apalagi Sang Bayi Kudus, Allah yang menjadi manusia. Lagi-lagi, tak terdengar keluh kesah, kecuali persiapan-persiapan yang memang harus dilakukan.
Hanya berdua, merekalah saksi mata natal pertama itu. Ya, sepasang suami istri yang sejati, suami istri yang menjadi saksi bahwa Natal itu bukan fasilitasnya, melainkan kesejatian nilainya. Suami istri yang berbahagia, karena Bayi Kudus ditengah mereka. Tamu pertama tiba disana, bukan bangsawan apalagi raja, melainkan kumpulan gembala. Tak ada gengsinya, tak ingin menyambutnya, bahkan terasa menggangu karena bau domba yang tak sedap mengikutinya. Natal terus berlanjut, penuh kebahagian sekalipun tanpa penganan, tanpa hiasan, melainkan sengatan angin malam. Tapi semua gangguan seakan tak berarti, karena kesukaan bathin melampauinya. Ah, betul-betul malam yang kudus, betul-betul surga tiba didunia orang yang percaya kepada Sang bayi Kudus. Tampaknya Natal itu konyol, karena pusatnya hanyalah Seorang Bayi, tapi disitulah letak keunggulan iman karena mampu menembusnya. Luar biasa, Natal itu hebat justru dalam kesederhanaannya, penghayatannya. Maria dan Yusuf utuh memilikinya.
Dikekinian masa, ketika semua serba ada, penghayatan natal menjadi terasa susah. Yang ada hanya asesoris natal, tawa hambar, atau kesenangan yang bersifat katarsis, kelegaan setelah melewati ketegangan emosional. Natal kini, kitalah yang mencipta kesenangan lewat berbagai atraksi atau hiburan music hingga lawakan natal. Kesenangan Natal lah yang kita milki, bukan kesukacitaan. Kesenangan bisa kita ciptakan, sementara sukacita adalah pemberian Allah.
Di Natal pertama, Maria dan Yusuf mendapatkan sukacita dari Allah, sementara kita seakan memperolehnya dalam ritual agama. Seringkali bukan lagi iman yang bekerja melainkan sugesti. Bukan pula spritualitas melainkan hanya ritualitas. Kita terjebak pada kata-kata jangan terjebak. Kita telah rutin mengatakan agar Natal janganlah rutinitas belaka. Dalam Natal, kita saling memaafkan, namun itupun kata-kata yang nyaris tak tampak dalam tindakan. Maklum, semua terbungkus dalam acara yang diatur bukan panggilan hati oleh Roh Tuhan. Seharusnya panggilan hati ini yang utama, maka acara akan bernilai. Disisi lain, nilai Natal yang baik adalah keberhasilan kuantitatifnya, jumlah orang yang datang, acaranya, dan tentu saja peralatannya. Menjadi terlupakan kebenaran Firman yang diberitakan, dan respon umat terhadap Firman itu. Sungguh mengkuatirkan, jika Natal terus berjalan, namun kesejatiannya telah berhenti.
Ah, tampaknya Natal hampir batal, bukan acaranya tapi kesejatian nilainya. Tidakkah anda prihatin dengan apa yang sedang terjadi? Atau jangan jangan anda sendiri telah terjebak didalamnya, bahkan mampu menikmatinya. Jika masih ada tersisa kegalauan pada nilai Natal masa kini, maka asah tumbuhkanlah itu. Semoga, kepekaan kita yang masih tersisa dapat mencegah batalnya Natal justru pada saat natal itu sedang dirayakan. Akhirnya selamat hari Natal, bukan sekedar tanggalnya saja, tapi juga kesejatiaan nilainya. Tak ada sedih didalam Natal, karena Yesus Kristus memberi sukacita yang mampu melamapui situasi apa saja. Semoga ini bukan hanya basa-basi. Pdt. Bigman Sirait