Notification

×

Bila Rasaku Ini Rasamu

Senin, 22 Juni 2020 | 00.42.00 WIB Last Updated 2020-06-22T11:34:52Z


















Saat mendengar lagu Kerispatih ini, ada sesuatu yang bisa kita renungkan. Semua orang berharap bahwa apa yang sedang dia rasakan juga dapat dirasakan oleh orang lain. Nyaris setiap kali kita bertemu dengan seseorang yang mengalami masalah akan berkata demikian, “Coba seandainya kalian di posisiku?” atau, “Kalian tau gak sih, rasanya jadi aku?” dan kalimat serupa lainnya. Kesimpulannya, kita sendiri maupun orang lain selalu memerlukan rasa empati.

Manusia sering menuntut simpati dan empati, namun sering lupa untuk melakukan hal tersebut kepada sesamanya. Padahal dalam hubungannya dengan sesama, manusia mesti terikat pada benang simpati dan empati. Kedua hal ini adalah dasar bagi manusia untuk saling menopang dalam kehidupannya. Simpati adalah sebuah perasaan belas kasih dan sayang atas sesuatu yang terjadi pada orang lain. Sedangkan empati adalah rasa simpati yang dalam dimana manusia dapat menempatkan diri pada posisi orang lain yang sedang mengalami kesedihan atau suatu masalah. 

Allah menciptakan manusia dalam hubungan-hubungan yang beragam. Hubungan antara suami dan isteri, orangtua dan anak, hubungan persahabatan, persaudaraan, bahkan hubungan pekerjaan. Allah juga memberi hubungan dalam bentuk strukturalisasi. Hubungan antara suami dan isteri, seorang suami pasti menjadi kepala bagi isterinya. Hubungan orangtua dan anak, orangtua akan menjadi pedoman bagi anak. Hubungan pekerjaan, seorang pemimpin tentu ada di atas rekan-rekannya. Demikian dalam setiap hubungan, Tuhan sudah menaruh perbedaan struktur, kedudukan, keberagaman kemampuan yang tidak dapat kita pahami alurnya.

Dalam hubungan tersebutlah, Allah mendidik setiap manusia untuk menggunakan hukum-Nya, yaitu KASIH. Sebuah tindakan kasih akan mulai muncul dalam bentuk simpati yang kemudian menjadi empati. Seseorang yang mengenal kasih tentu akan memahami kondisi, posisi, atau masalah yang sedang dialami oleh orang lain. Sehingga terwujud kepedulian, toleransi, bahkan pertolongan yang diberikan kadang dalam ukuran yang luar biasa. Maka tidak heran bila kita menemukan seseorang yang mampu memberi bentuk kasih itu, baik dalam kelebihan maupun kekurangannya.

Kita dapat mulai berkaca dan bertanya, sudah adakah kasih dalam diri kita?
Hati-hati pada pemahaman tentang kasih yang salah. Bila sekadar mengucapkan “kasihan ya..” maka itu tak lebih dari rasa simpati. Hingga karena kelalaian ini timbullah masalah semisal kekeliruan dalam strukturalisasi hubungan, kacaunya sistematika kehidupan. Contohnya, anak yang menangis meminta dibelikan sesuatu, karena kasihan orangtua akan membelikannya tanpa menjelaskan mengapa boleh dan tidak boleh membeli barang tersebut. Hal tersebut menciptakan karakter anak yang egois dan manja. Atau dalam pekerjaan, tercipta peraturan yang semrawut atau sekenanya, dan lain-lain. Bila itu yang kita alami, maka kita masih perlu belajar untuk berempati.

Cobalah mulai sekarang kita belajar untuk mengasihi dengan mewujudkan rasa empati terhadap sesama. Jangan menunggu untuk mengalami masalah yang sama baru kita menyadari betapa menderitanya seseorang. Gunakan otak untuk memahami masalahnya, lalu hati untuk merasakan tangisnya, kemudian putuskan sebuah tindakan sebagai solusi. Jangan mengatasnamakan hukum dunia sebagai alasan untuk tidak mampu berempati.

Tidak harus menjadi orang yang sempurna untuk bisa melakukan tindakan mulia. Tidak perlu takut menjadi rendah hanya karena kepedulian kita. Tidak perlu menjadi malaikat untuk bisa berbagi dengan sesama. Hanya perlu sebuah hati yang penuh dengan ketulusan. Hanya perlu kaki dan tangan yang tak terhalang emosi untuk bisa maju mengulurkan pertolongan. Hanya perlu Allah sebagai pegangan hidup untuk mewujudkan KASIH dalam kehidupan sehari-hari kita. (Hariya Oktaviany, S. Pd.)
×
Berita Terbaru Update