Live Streaming, Zoom Meeting, Webinar, Cloud, Blendeed Learning dan masih banyak istilah asing lain yang kini menjadi familiar di telinga. Sebelumnya, istilah-istilah ini bukan saja tidak familiar di pendengaran, bahkan dianggap sesuatu yang “transenden” nun jauh di sana yang tidak mungkin kita jangkau, mengerti dan mempelajari. Pandangan yang terlalu tinggi pada teknologi seperti itu membuat kita malas tahu, malas mengerti apalagi mempelajari. Ketika diminta mempelajari apa maksudnya dan seperti apa cara kerjanya, kita ini cenderung “lari” ogah. Tapi situasi menjadi berubah total 4 bulan kebelakang. Orang yang sebelumnya berkata “malas”, “enggan”, “ogah” dipaksa keadaan untuk “ambil tahu”.
Covid 19 (corona virus disease 19) betul-betul membuat orang berpikir, belajar dan merombak ulang segala yang sudah “biasa”. Berkhotbah yang “biasa” dilakukan di depan jemaat, di dalam ruangan gereja. Mengajar yang “biasa” di dalam kelas, berhadapan langsung dengan siswa dan mahasiswa, kini tak lagi bisa dilakukan seperti “biasa”. Covid 19 memaksa orang untuk menjaga jarak aman agar tak terjangkit virus mematikan ini.
Dengan kondisi seperti ini Hamba Tuhan, Pengurus Gereja, Guru, Dosen dan para Pengajar lainnya harus berpikir keras supaya dapat menjalankan aktivitas mengajar dan berkhotbah. Memberi asupan pengetahuan kepada siswa pun mahasiswa, juga asupan spiritual kepada para jemaat. Teknologi pada akhirnya menjadi jembatan bagi mereka. Teknologi yang “ogah” dipelajari; sebagai alat pelengkap semata; mungkin juga dipandang sebelah mata karena “potensinya” yang mempermudah orang melakukan dosa. Teknologi menjadi semacam “kebutuhan pokok” yang wajib, yang kudu, dimengerti, pelajari dan gunakan. Tak jarang kita dengar suara dari mimbar menyatakan teknologi adalah sarana “anti Kris”.
Teknologi telah berubah menjadi alat yang vital bagi kehidupan dan pekerjaan. Ketika para Hamba Tuhan dan Pengajar Work From Home (WFH) perlu teknologi untuk mengakses dokumen mereka yang ada di kantor atau Cloud. Teknologi juga diperlukan ketika mengadakan pertemuan dengan jemaat ataupun siswa dan mahasiswa. Lembaga Gereja dan lembaga pendidikan dituntut berpikir sedikit lebih terbuka terkait penggunaan teknologi, misalnya persembahan yang dilakukan dengan menggunakan uang digital atau hal lain yang kini menjadi lumrah dilakukan adalah Perjamuan Kudus via live streaming. Betapa sakral perjamuan kudus. Dulu wajib dan kudu dilakukan di dalam gereja. Kini dengan bantuan teknologi orang dapat melakukannya di kediaman masing-masing. Pertanyaannya, bagaimana jika kondisi sudah normal kembali, dengan bimbingan dari gereja, masihkah jemaat dapat mengikuti Perjamuan Kudus di rumah? Tentu ini akan menjadi perdebatan teologis yang ada pro dan kontra. Tapi dari bagian ini kita dipaksa belajar betapa teknologi sangat-sangat membantu dan mepermudah pelayanan gereja, maupun mengajar.
Teknologi bukanlah penyesat, teknologi bukan anti Kristus. Teknologi tak lebih dari sekadar alat. Tujuan, maksud dan motivasi menggunakannya ada pada User atau penggunanya sendiri. Sama seperti sebuah pisau yang dapat digunakan membantu dan mempermudah pekerjaan dapur, juga dapat dipakai dan disalahgunakan untuk membunuh orang.
Teknologi, saya percaya juga datangnya dari Tuhan. Tuhan yang memberi potensi kepada manusia sebagai gambar dan rupaNya untuk berpikir (rasio), beretika (moral), dan berkarya (cipta) sehingga dapat menciptakan alat-alat luar biasa yang dapat digunakan untuk kehidupan manusia. Pun, juga dapat digunakan sebagai sarana bagi pengembangan pelayanan. Tuhan mengizinkan teknologi dipakai bagi kemuliaanNya. Teknologi dapat memperluas jangkauan pelayanan. Jika sebelumnya para Pendeta melayani tidak lebih dari 300 orang dalam jemaatnya, dengan bantuan teknologi dapat menjangkau ribuan bahkan jutaan orang melalui layanan video hosting seperti Youtube.
Teknologi menyimpan potensi besar dan luas bagi pelayanan gereja dan pendidikan. Dengan teknologi gereja dan lembaga pendidikan lebih mendekatkan dirinya kepada kelompok milenial. Perkembangan pelayanannya tidak dibatasi oleh ruang kelas atau gedung gereja. Tidak dibatas jarak yang jauh. Dari segi pembiayaan jauh lebih murah. Penggunaan teknologi dapat menjadikan pelayanan ini menjadi lebih efektif dan efisien. Teknologi juga membuka pintu lebar-lebar bagi pengembangan lebih jauh. Tidak lagi terpaut pada sekadar slide ajar atau video ajar, tapi juga kelas online atau kelas jarak jauh, kolaborasi ajar, dan masih banyak lagi.
Karena itu jangan menutup diri dari teknologi. Jangan kita naif dan membatasi diri secara berlebih dari teknologi. “Hari Gini”, kita tidak bisa lagi berdalih dan menutup diri dari teknologi. Belajar, cari tahu dan menggunakan. Ada banyak sarana belajar tersedia yang bisa digunakan: audio (podcast), video, artikel tutorial sudah tersedia. Tinggal lihat, baca unduh dan belajar dari sana. Mari jadikan pelayanan kita lebih efektif dan efisien lagi dengan pemanfaatan teknologi. Slamet Wiyono (dosen STT Makedonia).